Google
 

Pulau Jawa

Pulau Jawa

Jumat, 07 Maret 2008

Perang Baratayudha

Perang Bharatayuddha


Ilustrasi saat perang di Kurukshetra dalam kitab Mahabharata.


Kurukshetra, lokasi tempat Bharatayuddha berlangsung.
Bharatayuddha (Sansekerta: भारतयुद्ध; Bhāratayuddha) adalah perang dahsyat antara dua pihak keturunan darah Bharata yakni para Pandawa dan para Korawa di medan Kuru atau Kurukshetra. Peperangan ini berlangsung selama 18 hari. Kisah ini diceritakan dalam epos Mahabharata yang ditulis Krishna Dwaipayana Wyasa dari India, kira-kira 400 tahun Sebelum Masehi.
Di Indonesia, kisah Mahabharata ditulis ulang di berbagai daerah sesuai dengan situasi kondisi sosial budaya setempat sehingga ceritanya menjadi berkembang dan tidak lagi sama persis dengan cerita aslinya. Beberapa kisah tersebut dapat dibaca dalam Serat Purwacarita, Serat Paramayoga, Serat Kanda, dan Serat Pustaka Raja Purwa.
Di Yogyakarta, cerita ditulis ulang dalam Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V. Penulisan dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848.


Sebab-Sebab Peperangan
Pandawa telah menjalani hukuman buang selama 13 tahun, sesuai dengan perjanjian, mereka menginginkan kembali tahta Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura yang menjadi haknya secara turun-temurun. Akan tetapi pihak Korawa yang merupakan sepupu Pandawa tidak mau menyerahkan tahta Hastinapura. Setelah semua upaya damai menemui jalan buntu, terjadilah perang selama 18 hari di medan Kuru atau Kurukshetra.
Pihak yang terlibat


Ilustrasi beberapa saat sebelum perang di medan Kurukshetra, wilayah Haryana (India Utara).
Pihak Pandawa
Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh divisi. Setiap divisi dipimpin oleh Drupada, Wirata, Drestadyumna, Srikandi, Satyaki, Cekitana dan Bima. Setelah berunding dengan para pemimpin mereka, para Pandawa menunjuk Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan Pandawa. Kitab Mahabharata menyebutkan bahwa seluruh kerajaan di daratan India utara bersekutu dengan Pandawa dan memberikannya pasukan yang jumlahnya besar. Beberapa di antara mereka yakni Kerajaan Kekaya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, Wangsa Yadawa, Dwaraka, dan masih banyak lagi.
Pihak Korawa
Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa sekaligus mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Pasukan dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus Korawa dipimpin oleh Duryodana sendiri bersama dengan adiknya—Dursasana, putera kedua Dretarastra, dan dalam pertempuran Korawa dibantu oleh Resi Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa—Jayadrata, Guru Krepa, Kertawarma, Salya, Sudaksina Kamboja, Burisrawas, Bahlika, Sangkuni, dan masih banyak lagi para kesatria dan raja gagah perkasa yang memihak Korawa demi Hastinapura maupun Dretarastra.
Pihak netral
Kerajaan Widarbha dan rajanya, Raja Rukmi, selayaknya kakak Kresna, yaitu Baladewa, adalah pihak yang netral dalam peperangan tersebut.
Jalannya pertempuran di Kurukshetra


Para Raja dan Ksatria meniup terompet kerang mereka tanda pertempuran akan segera dimulai.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang di Kurukshetra
Setelah Arjuna selesai melakukan inspeksi terhadap pasukannya, pertempuran dimulai. Kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang para ksatria Pandawa dan membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Usaha para ksatria Pandawa di hari pertama tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan. Putera Raja Wirata gugur oleh Bisma dan Salya di hari pertama. Pada hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama. Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.
Pada hari ketiga, Abimanyu dan Satyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik Sangkuni. Bima dan putranya, Gatotkaca, menyerang Duryodana yang berada di barisan belakang. Namun Duryodana berhasil menghindari serangan Bhima. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga membalas serangan Bhisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di sampingnya. Satyaki berhadapan dengan Drona. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan membunuh ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya.
Pertumpahan darah yang sulit dibayangkan terus berlanjut dari hari ke hari selama pertempuran berlangsung. Hari keenam merupakan hari pembantaian yang hebat. Drona membantai banyak prajurit di pihak Pandawa yang jumlahnya sukar diukur. Formasi kedua belah pihak pecah. Pada hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera Dretarastra. Putera Arjuna, yaitu Irawan, terbunuh oleh para Korawa. Pada hari kesembilan Kresna marah lagi sebab Arjuna masih segan untuk mengalahkan Bishma, lalu ia bergerak menuju pasukan Korawa. Arjuna sekali lagi menghentikan Kresna.
Kekalahan Bhisma


Lukisan India yang menggambarkan Rsi Bhisma sedang berbaring di "ranjang panah".
Pandawa yang merasa tidak mungkin untuk mengalahkan Bhisma menyusun suatu strategi. Arjuna berencana untuk menempatkan Srikandi di depan keretanya, dan ia sendiri akan menyerang Bhisma dari belakang Srikandi. Bhisma yang tidak tega untuk menyerang seorang wanita, tidak bisa menyerang Arjuna karena dihalangi Srikandi. Hal itu dimanfaatkan Arjuna untuk mehujani Bhisma dengan ribuan panah yang mampu menembus baju zirahnya. Ratusan panah di tubuh Bhisma menancap sampai menembus badannya. Sang ksatria besar terjatuh dari keretanya, namun badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah yang menancap di tubuh. Pandawa dan Korawa menghentikan pertarungannya sejenak lalu mengelilingi Rsi Bhisma. Bhisma menyuruh Arjuna untuk meletakkan tiga anak panah di bawah kepalanya sebagai bantal. Meskipun sudah tak berdaya, Bhisma mampu hidup selama beberapa hari dan menyaksikan kehancuran pasukan Korawa.
Dengan kekalahan Rsi Bhisma pada hari kesepuluh, Karna kembali ke medan laga dan melegakan hati Duryodana. Ia mengangkat Drona sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Raja TrigartadesaSusharma—bersama dengan 3 saudaranya dan 35 putera mereka berada di pihak Korawa dan mencoba untuk membunuh Arjuna atau sebaliknya, mati di tangan Arjuna. Mereka turun ke medan laga pada hari kedua belas dan langsung menyerbu Arjuna. Namun mereka tidak berhasil sehingga gugur satu persatu. Semakin hari kekuatan para Pandawa semakin bertambah dan memberikan pukulan yang besar kepada pasukan Korawa.
Gugurnya Abimanyu
Untuk menghancurkan pasukan Pandawa, Duryodana mencoba memanggil Bhagadatta, Raja Prajayogastha. Bhagadatta merupakan putera dari Narakasura, raja jahat yang dibunuh oleh Kresna beberapa tahun sebelumnya. Bhagadatta memiliki ribuan mammoth, gajah yang berukuran sangat besar sebagai kekuatan pasukannya. Bhagadatta merupakan ksatria terkuat di antara seluruh pasukan penunggang gajah di dunia. Bhagadatta mencoba menyerang Arjuna dengan ribuan gajahnya. Pertempuran terjadi dengan sangat sengit. Karena Arjuna sibuk dalam pertarungan yang sengit, ia kesulitan untuk mematahkan formasi “Cakravyhuha”. Yudistira melihat hal tersebut dan menyuruh Abimanyu, putera Arjuna, untuk membantu ayahnya keluar dari perangkap formasi “Cakravyuha”. Arjuna berhasil keluar namun sebaliknya, Abimanyu terperangkap dan terbunuh. Pada hari kedua belas, setelah melalui pertarungan yang sengit, akhirnya Bhagadatta dan Susharma gugur di tangan Arjuna.
Akhir peperangan
Pertempuran berlangsung selama 18 hari penuh. Setelah kematian Abimanyu, Bhagadatta, Susharma dan saudara-saudaranya pada hari ke-12, pertempuran berlangsung dengan ganas selama enam hari berikutnya. Pada akhir hari ke-18, hanya sepuluh ksatria yang bertahan hidup dari pertempuran, mereka adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu, Setyaki, Aswatama, Kripa dan Kritawarma. Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Setelah memerintah selama beberapa lama, ia menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, Parikesit. Kemudian, ia bersama Pandawa dan Dropadi mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka.

Bharatayuddha dalam versi pewayangan
Peristiwa Sebelum Perang Baratayuda
Bale Sigala-gala
Pandawa Dadu
Jabelan/Kresna Duta
Pembagian Kisah Perang Baratayuda
Di bawah ini disajikan pembagian kisah Bharatayuddha menurut versi pewayangan Jawa.
Babak 1 - Seta Gugur
Babak 2 - Tawur (Bisma Gugur)
Babak 3 - Paluhan (Bogadenta Gugur Babak)
Babak 4 - Ranjapan (Abimanyu Gugur)
Babak 5 - Timpalan (Burisrawa Gugur atau Dursasana Gugur)
Babak 6 - Suluhan (Gatotkaca Gugur)
Babak 7 - Karna Tanding
Babak 8 - Rubuhan (Duryudana Gugur)
Babak 9 - Lahirnya Parikesit
Jalannya pertempuran versi pewayangan Jawa Tengah
Babak pertama
Dikisahkan, Perang Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Kurawa mengangkat Resi Bisma sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Durna dan prabu Salya, raja kerajaan Mandaraka yang mendukung Kurawa. Resi Bisma menentukan siasat perang Kurawa dengan siasat Wukirjaladri yang berarti gunung samudra.
Balatentara Kurawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Tegalkurusetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang, dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang, dengan bermaksud membunuh Resi Seta, Pimpinan Perang Pandawa. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, yakni seorang pangeran muda yang berada di dalam kereta di luar garis pertempuran, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada (pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putra mahkota Mandaraka tewas seketika.
Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Dorna. Resi Bisma dengan bersenjatakan aji Nagakruraya, aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada (pemukul)kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Resi Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuda babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Kurawa karena kematian pimpinan perang Pandawa.
Babak Kedua
Setelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Drestadyumna atau Trustajumena sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Resi Bisma tetap menjadi pimpinan perang Kurawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang (Garuda terbang).
Dalam pertempuran ini dua anggota Kurawa, Wikataboma dan kembarannya Bomawikata terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Kurawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma, raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Satyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga (anak Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Resi Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Resi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut, Resi Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Resi Bisma. Resi Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi.
Tawur demi kemenangan
Dalam babak ini juga diadakan korban demi syarat kemenangan pihak yang sedang berperang. Resi Ijrapa dan anaknya Rawan dengan sukarela menyediakan diri sebagai korban (Tawur) bagi Pandawa. Keduanya pernah ditolong Bima dari bahaya raksasa. Selain itu satria Pandawa terkemuka, Antareja yang merupakan putra Bima juga bersedia menjadi tawur dengan cara menjilat bekas kakinya hingga tewas. Sementara itu Sagotra, hartawan yang berhutang budi pada Arjuna ingin menjadi korban bagi Pandawa. Namun karena tidak tahu arah, ia bertemu dengan Kurawa. Oleh tipu muslihat Kurawa, ia akan dipertemukan dengan Arjuna, namun dibawa ke Astina. Sagotra dipaksa menjadi tawur bagi Kurawa, namun menolak mentah-mentah. Akhirnya, Dursasana, salah satu anggota Kurawa membunuhnya dengan alasan sebagai tawur pihak Kurawa.

Kutipan dari Kakawin Bharatayuddha
Kutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa.
Kutipan
Terjemahan
Ri huwusirə pinūjā dé sang wīrə sirə kabèh, ksana rahinə kamantyan mangkat sang Drupada sutə, tka marêpatatingkah byūhānung bhayə bhisamə, ngarani glarirèwêh kyāti wīrə kagəpati
Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda” yang masyur gagah berani
Drupada pinakə têndas tan len Pārtha sirə patuk, parə Ratu sirə prsta śrī Dharmātmaja pinuji, hlari têngênikī sang Drstadyumna sahə balə, kiwə pawanə sutā kas kocap Satyaki ri wugat
Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya
Ya tə tiniru tkap Sang śrī Duryodhana pihadhan, Sakuni pinakə têndas manggêh Śālya sirə patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang Bhīsma Drona panalingə, Kuru pati Sirə prstə dyah Duśśāsana ri wugat
Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor
Ri tlasirə matingkah ngkā ganggā sutə numaso, rumusaki pakekesning byuhē pāndawə pinanah, dinasə gunə tkap Sang Pārthāng laksə mamanahi, linudirakinambah de Sang Bhīma kasulayah
Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan
Karananikə rusāk syuh norā paksə mapuliha, pirə ta kunangtusnyang yodhāgal mati pinanah, Kurupati Krpa Śalya mwang Duśśāsana Śakuni, padhə malajêngumungsir Bhīsma Drona pinakə toh
Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan
Niyata laruta sakwèhning yodhā sakuru kula, ya tanangutusa sang śrī Bhīsma Drona sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngdé lêwu wulangun, wkasanawa tkapning rah lumrā madhêmi lebū
Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu
Ri marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wīrāh māti mapupuhan, gaja kuda karanganya hrūng jrah pāndanika kasêk, aracana makakawyang śārā tan wêdi mapulih
Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam
Irika nasēmu képwan Sang Pārthārddha kaparihain, lumihat i paranāthākwèh māting ratha karunna, nya Sang Irawan anak Sang Pārthāwās lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan Sang Çrênggi rākshasa nipunna
Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung

Tidak ada komentar: